Pada postingan saya berjudul
“Sudahkah Kita Membaca Bersama Anak Kita?”, hasil dari sharing di grup whats
app yang diadakan oleh Mommys Stories, bahwa literasi atau kemampuan membaca
dan menulis pada setiap anak, dapat dengan mudah kita budayakan melalui hal-hal
yang simple.
Kemampuan literasi pada anak
dapat dengan mudah dikembangkan oleh orang tua, ayah dan ibu melalui kegiatan
sehari-hari. Berbincang-bincang, misalnya. Peran orang tua sangat diperlukan
untuk meningkatkan literasi pada anak.
Lalu, apakah literasi saja sudah
cukup? Ternyata tidak. Kita membutuhkan kemampuan literasi kritis.
Literasi kritis adalah kemampuan membaca teks secara aktif dan reflektif dengan
tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang lingkungan sosial di
sekitar kita. Orang yg memiliki kemampuan literasi kritis akan dapat melihat
melalui sudut pandang (perspektif) yang beragam. Bukan cuma patuh pada apa yang
mereka baca, tonton, lihat, atau dengar. Teks dalam literasi kritis bisa berupa
media apa saja ya... Buku, artikel,
iklan, lagu, film, de el el.
Anak harus tahu bahwa sebuah teks
punya banyak makna. Untuk dapat menganalisis makna tersurat dan tersirat, ya
harus aktif membaca. Paling tidak tahu tujuan penulis. Namun sayangnya, kita
dan juga anak-anak, sering dikondisikan
untuk menerima mentah mentah informasi yang tersaji.
Adakah yg pernah merasa aneh dengan cerita Jack and the beanstalk?
Sejak saya SD nih ya, emang guru
di kelas lebih sering menanyakan tentang fakta dalam bacaan, bukan pendapat
atau refleksinya tentang bacaan itu. Lebih banyak apa, siapa, di mana, dan
kapan daripada mengapa demikian, atau bagaimana pendapatmu. Waktu itu saya juga
belum paham, jadi ngikutin aja ^_^
Memiliki ketrampilan literasi kritis membuat orang tak mudah dimanipulasi dan lebih tidak mudah percaya hoax
(tahu kan? jaman sekarang hoax merajalela T_T). Contohnya: ketika bermain barbie, anak bisa saja menerima mentah-mentah
stereotype tentang perempuan, misalnya menganggap penampilan itu paling
penting. Hal ini bisa bermakna berbeda
kalau keluarga mendorong literasi kritis pada anak.
Bagaimana strategi menumbuhkan kemampuan literasi kritis?
Selain memulai dari hal yg menarik
minat dan berhubungan dengan hal yang ditemui anak sehari-hari, faktor penting lainnya adalah interaksi
antara anak dan orang tua. Bacakan buku untuk anak, usahakan juga bertanya
sehingga anak terdorong untuk bertanya. Misalnya,
mengapa cerita ini berakhir begitu? Kalau bisa, apa yg ingin kamu ubah?
Literasi kritis memang terbangun
dari percakapan dan diskusi. Rekan bicara anak, yaitu orang tua, juga harus
memposisikan diri setara sehingga berpikir kritis bisa terjadi. Umumnya, literasi kritis memang diajarkan pada
remaja. Tapi ada juga guru yg mulai
mengajarkan ini pada anak TK. Misalnya
dengan mengkritisi paket happy meal dari sebuah restoran fastfood.
Pada usia berapa seharusnya anak belajar membaca?
Orang tua dapat menstimulasi
kemampuan pra membaca dan pra menulis anak di bawah usia tujuh tahun. Mendengarkan
orang tua membacakan buku, mendongeng, bernyanyi adalah tahap yang dilalui anak
saat stimulasi pra membaca. Dengan begitu anak sadar akan irama, sajak, rima,
bunyi, dan kosa katanya luas.
Oh iya, pernahkan Anda berpikir
jika anak juga harus kenal arah atas, bawah, depan, belakan, kiri, dan kanan
dulu sebelum belajar membaca dan menulis? Sama, saya juga tidak pernah
memikirkannya, apa hubungannya, coba? Eh, baru saya tahu, ternyata hal itu
adalah bekal untuk mengenal huruf dan bunyi sebelum nanti belajar membaca.
Tidak ada keharusan masuk SD
sudah bisa membaca, bahkan pemerintah sudah melarang tes baca tulis untuk masuk
SD. Di usia 5 tahun kita fokus pada stimulasi seperti itu, sehingga anak mulai berminat membaca dan
belajar membaca dengan senang. PP NO 17 thn 2010 adalah larangan tes calistung
untuk anak masuk SD. *catet ya PPnya, bisa buat senjata saat masukin anak ke
SD, hehehe.
Apa tantangan yang harus dihadapi anak di era digital?
Di era digital, seperti saat ini,
anak-anak akan lebih sadar media, dan lebih peka pada bagaimana informasi
bergerak. Jelas sekali bahwa tantangan mereka nanti adalah banyak informasi
membanjiri dan banyak tugas paralel hadir bersamaan. Istilah kerennya
multitasking.
Kita sebagai orang tua, perlu
lebih banyak berdiskusi dengan anak, belajar mengkritisi informasi bersama
anak. Belajar bertanya dan belajar menyelidik bersama. Menjadi pembuat konten
digital juga akan jadi pengalaman yg bermakna untuk membuat anak semakin melek
media.
Selain itu, mengajarkan anak
untuk pandai mengatur waktu, terutama melatih kemampuan literasi kritis diri
sendiri. Misalnya, seandainya waktu kita bersosmed selama setahun
dikumpulkan, cukup untuk membaca 200
buku lho. Banyak bukan? Belum lagi
maraknya aneka berita di media sosial yang membutuhkan literasi kritis untuk
menyikapinya, karena berita tersebut belum tentu benar 100%.
Kesimpulannya adalah, kemampuan
literasi saja tidak cukup untuk bekal hidup anak di masyarakat namun juga
diperlukan literasi kritis sehingga anak dapat membendung arus informasi yang
sangat deras, menyaringnya dengan kritis dan tidak terbawa arus. Pastinya
membaca secara tuntas segala informasi yang didapat sebelum mengomentari sebuah
bacaan, juga perlu kita tanamkan kepada anak.
Keputusan ada di tangan kita
sebagai orang tua. Sudahkah kita membaca buku bersama anak? Membersamai anak
dalam membaca dan berpikir kritis?
Saya? Masih proses.
Terima kasih telah membaca
postingan saya sampai tuntas, saya tunggu komentarnya ya.
6 Comments
Kemampuan untuk melakukan literasi kritis itu kayaknya memang bisa dipancing dengan masalah-masalah sehari-hari. Tapi beraatt deh bayanginnya, maklum belum punya anak
ReplyDeletesemoga segera diberi momongan ya mbak ria
ReplyDeleteapakah menceritakan perbedaan cerita dongeng dengan fiksi yang nyata di kehidupan sehari-hari juga termasuk mengajarkan literasi kritis?
ReplyDeletemenurut saya sih bisa juga mbak, jika disertai tanya jawab dengan anak. intinya memancing anak untuk berpikir kritis melalui bacaan, hehe,
Deleteilmu baru buat saya. terima kasih mbak.
ReplyDeletesama-sama mbak ^_^
Delete